Kaisar Romawi Pertama

Kaisar Romawi Pertama

Konstantinus Agung dan Kekristenan

Konstantinus Agung (306–337 M) adalah kaisar yang paling dikenal karena mengadopsi Kekristenan sebagai agama resmi Kekaisaran Romawi. Pada masa pemerintahannya, Konstantinus menyatukan kembali kekaisaran yang sebelumnya terpecah dan mendirikan ibu kota baru di Bizantium, yang kemudian dikenal sebagai Konstantinopel. Keputusan Konstantinus untuk mendukung Kekristenan mengubah wajah kekaisaran dan agama dunia barat selamanya.

Augustus (27 SM - 14)

Banyak yang mengira nama Julius Caesar pasti berada di posisi pertama. Tetapi, Caesar bukanlah seorang kaisar, melainkan seorang pemimpin terakhir di era Republik Romawi. Dan Caesar pun selanjutnya menjadi seorang diktator seumur hidup.

Setelah pembunuhannya pada tahun 44 SM, calon pewaris takhtanya, yakni Gaius Julius Caesar Octavianus berhasil menyisihkan semua pesaingnya untuk menguasai Romawi. Senat Romawi kemudian mengangkatnya sebagai kaisar pertama dengan gelar Kaisar Octavianus Augustus pada tahun 27 SM.

Patung Kaisar Augustus di Via dei Fori Imperiali- Rome. Sumber: Szilas / wikimedia

Patung Kaisar Augustus di Via dei Fori Imperiali- Rome. Sumber: Szilas / wikimedia

Sebagai kaisar Romawi, Augustus memimpin transformasi Romawi. Dari zaman Republik ke era Kekaisaran. Mulai dari periode penuh gejolak sampai membawa Romawi ke masa penuh kedamaian, kesejahteraan dan kemegahan yang dikenal dengan sebutan Pax Romana.

Lihat Sosbud Selengkapnya

Empat Kaisar Baik (96 – 180)

Julian dan Jovian (361 – 364)

Warisan Kaisar Romawi

Warisan kaisar Romawi tetap hidup dalam sejarah Eropa dan dunia. Gelar "kaisar" digunakan dalam berbagai bentuk oleh penguasa lain sepanjang sejarah, seperti "Kaiser" di Jerman dan "Tsar" di Rusia, yang keduanya secara etimologis berasal dari "Caesar." Kekaisaran Romawi juga meninggalkan warisan hukum, seni, arsitektur, dan konsep pemerintahan yang terus mempengaruhi dunia modern hingga saat ini.

Berikut ini adalah daftar beberapa kaisar Romawi yang paling berpengaruh:

Dalam sejarah pemerintahan Romawi Kuno, Julius Caesar dipandang sebagai salah satu pimpinan terbaik. Sebelum tragedi pembunuhannya, ia telah mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin Romawi selanjutnya, ia adalah Octavianus Augustus.

Meski sempat diragukan kepemimpinannya, Augustus kemudian bertransformasi sebagai seorang pemimpin ulung dan menjadi sosok kaisar pertama dalam sistem pemerintahan kekaisaran Romawi. Di bawah aturannya, Romawi berhasil merengkuh banyak kemenangan dan kemajuan.

Di balik itu semua, ia pun memiliki kisah hidup yang menarik. Berikut fakta-faktanya.

Calon penerusnya selalu meninggal dengan misterius

Tanpa memiliki seorang putra, Augustus menghabiskan banyak waktu dan energi untuk mencoba mempersiapkan seorang penerusnya. Dia memusatkan perhatian awalnya pada keponakannya Marcellus, yang dinikahkan dengan Julia pada 25 SM. Tetapi Marcellus jatuh sakit dan meninggal beberapa tahun kemudian sekitar usia 21 tahun.

Selanjutnya, Augustus menyiapkan Agrippa, teman dan jendralnya, yang, meskipun 25 tahun lebih tua dari Julia, mereka kemudian memiliki tiga putra dan dua putri. Augustus mengadopsi dan membantu membesarkan dua anak lelaki yang lebih tua, Gayus dan Lucius.

Tetapi, lagi-lagi kematian menghampiri mereka. Yang pertama meninggal pada usia 23 setelah terluka di Armenia dan yang kedua meninggal pada usia 19 setelah tertular penyakit yang tidak diketahui di Gaul. Sedangkan putra ketiga Julia dan Agrippa, konon, penuh amarah dan akhirnya dikirim ke pengasingan.

Setelah kematian Agrippa, Augustus memaksa anak tirinya Tiberius untuk menceraikan istri tercintanya dan menikahi Julia, tetapi mereka hanya memiliki satu anak yang meninggal saat masih bayi.

Itulah fakta-fakta kehidupan sang kaisar pertama Romawi, Octavianus Caesar Augustus.

Baca Juga: 8 Fakta Sergey Kirov, Tokoh Besar Uni Soviet yang Dibunuh

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Berikut ini adalah daftar kaisar Romawi dari Caesar (59 SM) hingga kaisar tunggal terakhir, Theodosius I (392 – 395), sebelum kekaisaran Romawi pecah menjadi kekaisaran Romawi Barat dan kekaisaran Romawi Timur:

Catatan: Tahun yang tertulis adalah tahun jabatan (bukan tahun kelahiran – kematian)

uCatatan: Krisis abad ke-3 biasa digunakan untuk menggambarkan sebuah keadaan kacau di Kekaisaran Romawi antara tahun 235 dan 284, yang hampir menyebabkan kehancuran Kekaisaran Romawi. Pada periode ini, Kekaisaran dipimpin oleh kira-kira 25 Kaisar. Periode ini dianggap berakhir setelah Diocletian berkuasa.

Catatan: Konstantinus II dan Konstans kemudian tewas, meninggalkan Konstantius II sebagai penguasa tunggal.

Kaisar Romawi Suci (bahasa Jerman: Römisch-deutscher Kaiser, bahasa Latin: Romanorum Imperator) adalah penguasa dari Kekaisaran Romawi Suci. Dari otokrasi pada masa Karolingia gelar ini berevolusi menjadi sebuah Monarki pemilihan. Di mana yang berhak memilih adalah para Pangeran-elektor. Ada juga sebuah Reformasi di mana dalam pemilihan kaisar (imperator electus) dibutukan juga izin dari Paus sebelum bisa bertakhta dengan gelar tersebut.

Mereka yang menyandang gelar ini memiliki hubungan dengan takhta Kerajaan Jerman dan Kerajaan Italia (Kekaisaran Italia Utara).[1][2][3] Berdasarkan Teori, Kaisar Romawi Suci adalah primus inter pares (yang pertama di antara yang sejajar) di antara monarki-monarki Katolik Roma; dalam praktiknya, seorang Kaisar Romawi Suci hanya berpengaruh pada pasukan yang ia punya dan para aliansinya.

Beberapa wangsa yang ada di Eropa, dalam waktu berbeda secara turun temurun menjadi pemegang gelar ini, terutama pada masa Habsburg. Setelah Reformasi Protestan, beberapa negara pembentuk kekaisaran ini berubah haluan menjadi Protestan, walaupun Kekaisaran Romawi Suci tetap berhaluan Katolik. Gelar ini dihapus oleh Franz II yang merupakan kaisar terakhir. Gelar ini dihapus karena dampak dari Perang Napoleon.

Informasi lebih lanjut:

Gelar ini ada dari masa kekuasaan Konstantinus I, pada abad ke-4 Masehi sebagai Kaisar Romawi, yang dikenal sebagai pendukung dan pelindung Kristen. Gelar Kaisar ini menjadi tidak berlaku di Eropa Barat setelah Romulus Augustulus turun takhta pada tahun 476. Di timur, gelar dan hubungan antara Kaisar dan Gereja berlanjut hingga tahun 1453, saat kekaisaran jatuh ke tangan Kesultanan Ottoman. Sedangkan di barat, gelar Kaisar (bahasa Latin: Imperator) di huidupkan kembali pada tahun 800, bersamaan dengan adanya bentuk kerjasama antara kekaisaran dan kepausan. Seiring dengan pertumbuhan kekuasaan Paus selama Abad Pertengahan, pihak paus dan kekaisaran mengalami konflik yang disebabkan tumpang tindih administrasi dan kebijakan gereja. Yang terkenal salah satunya adalah, Kontroversi Penobatan, yang terjadi antara Henry IV dan Paus Gregorius VII.

Setelah Charlemagne dimahkotai sebagai Kaisar Romawi (bahasa Latin: Imperator Romanorum) oleh Paus, keturunan dan penerusnya mempertahankan gelar ini hingga kematian Berengar I dari Italia pada tahun 924. Tidak ada Paus lagi yang menunjuk Kaisar hingga penobatan Otto yang Agung pada 962. Di bawah Otto dan para penerusnya, banyak dari bagian Kekaisaran Karolingia, yaitu Kerajaan Francia Timur jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi Suci. Beberapa pangeran Jermanik memilih salah satu rekan mereka (sesama pangeran) menjadi Raja Jerman, setelah itu ia akan di mahkotai sebagai Kaisar oleh Paus. Setelah penobatan Karl V, semua kaisar secara resmi adalah pilihan kekaisaran karena penobatan oleh Paus dirasa kurang resmi.

Istilah sacrum (atau "suci") yang berkaitan dengan Kekaisaran Romawi pada abad pertengahan pertama kali digunakan pada tahun 1157 di bawah Frederick I Barbarossa.[4] Karl V adalah Kaisar Romawi Suci terkahir yang dimahkotai oleh Paus (1530). Dan Kaisar Romawi Suci terpilih terakhir, Francis II, turun takhta pada 1806 saat Perang Napoleon.

Acuan penobatan yang digunakan dalam gelar ini adalah Kaisar Romawi Augustus (Romanorum Imperator Augustus). Saat Charlemagne dimahkotai pada tahun 800, ia memiliki gaya gelar "Augustus yang paling menentramkan, dimahkotai Tuhan, Kaisar yang hebat dan meneduhkan, memerintah Kekaisaran Romawi" sehingga muncul unsur-unsur "Suci" dan "Romawi" di gelar kekaisaran. Kata Suci ini meskipun dikenal luas, tidak pernah digunakan dalam dokumen resmi.[5]

Kata Romawi sendiri adalah refleksi dari prinsip translatio imperii (transfer kekuasaan) yang menganggap Kaisar Romawi Suci dari kalangan Jermanik adalah pewaris gelar Kaisar dari Kekaisaran Romawi Barat, meskipun sebenarnya keberlanjutan itu ada di Kekaisaran Timur.

Daftar ini mencakup semua Kaisar Kekaisaran Romawi Suci, baik apakah mereka menggunakan gelar Kaisar Romawi Suci atau tidak. Banyak beberapa pengecualian terkait daftar ini. Contohnya, Heinrich sang Pemburu Burung adalah Raja Jerman namun bukan seorang Kaisar. Kaisar Heinrich II masuk ke daftar karena ia menjadi suksesor Raja Jerman. Dinasti Guideschi masuk ke daftar sebagai pemegang kekuasaan Kadipaten Spoleto.[butuh rujukan]

Historiografi tradisional mengklaim keberlanjutan antara Kekaisaran Karolingia dan Kekaisaran Romawi Suci. Hal ini ditolak oleh beberapa sejarawan modern, yang menyatakan bahwa pendirian Kekaisaran Romawi Suci adalah pada tahun 962.[butuh rujukan] Para Kaisar sebelum tahun 962 adalah:

Tidak ada kaisar pada priode 924 hingga 962.

Berikut ini adalah daftar kaisar Romawi dari Caesar (59 SM) hingga kaisar tunggal terakhir, Theodosius I (392 – 395), sebelum kekaisaran Romawi pecah menjadi kekaisaran Romawi Barat dan kekaisaran Romawi Timur:

Catatan: Tahun yang tertulis adalah tahun jabatan (bukan tahun kelahiran – kematian)

Dia pernah mengasingkan putrinya sendiri

Sebagai pendukung nilai-nilai tradisional, Augustus membangun dan memperbarui banyak kuil selama masa pemerintahannya, mendorong perkawinan dan persalinan. Namun pada 2 SM ia harus menerima kenyataan jika putri satu-satunya, Julia, telah berhubungan di luar nikah dengan banyak pria berpengaruh, termasuk putra Mark Antony. Akibatnya, ia pun mengasingkan anaknya itu ke pulau berbatu Ventotene.

Meskipun kemudian dia mengizinkannya untuk pindah ke tempat yang tidak begitu terisolasi, di mana dia tidak pernah melihatnya lagi. Augustus juga membuang cucunya karena tuduhan perzinahan, meskipun dalam kedua kasus tersebut para sejarawan percaya ada faktor-faktor tambahan yang mungkin berperan.

Kekaisaran Romawi Barat dan Timur

Pada abad ke-4, Kekaisaran Romawi secara efektif dibagi menjadi dua bagian: Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di Roma dan Kekaisaran Romawi Timur (kemudian dikenal sebagai Kekaisaran Bizantium) yang berpusat di Konstantinopel. Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M setelah serangkaian serangan dari suku-suku barbar seperti Visigoth dan Vandal. Namun, Kekaisaran Romawi Timur terus bertahan hingga jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 M.

Gagal memperluas kekaisaran Romawi

Setelah mengalahkan saingannya, Augustus mulai mengkonsolidasikan kekuatannya, meningkatkan infrastruktur Roma dan mempercantik kota. Dia juga ingin memperluas perbatasan kekaisarannya, membawa Mesir, Spanyol utara, Pegunungan Alpen, dan sebagian besar Balkan di bawah kendali Romawi.

Sayang kemunduran terjadi di Jerman ketika tiga legiunnya disapu habis dalam sebuah penyergapan pada 9 M, memaksa orang-orang Romawi untuk mundur di sebelah barat Sungai Rhine. Setelah mendengar berita tentang kekalahan itu, Augustus berulang kali membenturkan kepalanya ke dinding dan berteriak kepada jenderal untuk bertanggung jawab.

Sebagai bagian dari upaya ekspansi ini, Augustus menghabiskan bertahun-tahun di Spanyol, Galia, Yunani, dan Asia. Namun dia sendiri bukan pejuang, sering sakit pada malam pertempuran dan sangat bergantung pada strategi pada teman masa kecilnya Marcus Vipsanius Agrippa.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Baca Juga: 7 Misteri Perang Dunia II yang Belum Terjawab Sampai Saat Ini

Anak-anak Konstantinus (337 – 361)

Catatan: Konstantinus II dan Konstans kemudian tewas, meninggalkan Konstantius II sebagai penguasa tunggal.